Tuesday, August 22, 2017

Parameter pengukuran: Sepenggal kisah penarikan kesimpulan

Gambar suasana dalam kereta KLIA Transit

Ketika dalam perjalanan menuju UPM dari hotel dengan menggunakan taksi online, saya berdiskusi ringan dengan sopir. Pada dasarnya sopir tersebut ramah, dia memulai diskusi tentang dari mana saya berasal dan sedang ada bisnis apakah di Malaysia.

Saya pun menanggapi dengan baik, menyampaikan bahwa saya dari Indonesia dan ke Malaysia untuk keperluan pendidikan dikarenakan saya berprofesi sebagai pengajar di Indonesia. Sambil menyetir mobil, sopir ini cerita bahwa dia pernah datang ke Indonesia, khususnya ke Jakarta untuk menghadiri undangan pernikahan kerabatnya. Dia membandingkan kondisi kebersihan jalan raya antara Indonesia dengan Malaysia.

Dengan bangga dia mengatakan "di sini jalan raya bersih tidak ada sampah, beda dengan di Indonesia. Coba anda lihat, bersih dan rapi bukan?" Saya senyum saja mendengarkan, lalu bertanya "sudah berapa kali anda ke Jakarta dan daerah mana saja yang sudah anda kunjungi?" Saya mengajukan pertanyaan.

"Saya baru pertama kali ke Jakarta dan saya lupa nama daerahnya yang pernah saya kunjungi". Sambil tertawa kecil saya berkata "anda baru pertama kali ke Jakarta lalu bisa berkesimpulan bahwa Malaysia lebih bersih dan rapi dibandingkan Indonesia? Bagaimana bisa?". Singkatnya, sopir ini menyadari sudah keliru dalam berucap, bahkan kalau saya mau bisa saja saya kasih dia bintang satu sebagai "pelajaran". Hal itu tidak saya lakukan karena dia berpendapat seperti itu hanya berdasarkan ruang sampel yang dia lihat untuk diperbandingkan. Saya berikan dia bintang 4 untuk keramahannya.

Lain cerita ketika menemani ibu-ibu (peserta dari Indonesia) berbelanja oleh-oleh di sebuah mall di pusat kota, ada fenomena yang di luar dugaan saya. Di mall tersebut beberapa wanita mudanya tampak berbusana (maaf) super sexy dan hot". Pengalaman saya main ke mall besar ibu kota (misalnya: MOI, Kokas, Boqer, CCM) belum pernah saya melihat wanita berbusana se-sexy ini di ruang publik (pusat pertokoan). Sebagai pria normal dan lugu (hahaha) tentu saja hal ini membuat saya gugup dan harus lebih sering "membuang pandangan" (dilihat dosa, gak dilihat...). Apakah yang saya lihat ini kemudian tepat dijadikan inferensia komparatif permisifnya publik akan kebebasan berbusana di ruang publik, antara Indonesia - Malaysia? Apakah hanya dengan sebuah fakta yang saya saksikan ini dapat secara tepat digunakan untuk men-generalisir bahwa ternyata rakyat Malaysia sudah lebih permisif dibandingkan rakyat Indonesia, dalam hal kebebasan penggunaan busana (khususnya busana super sexy) di ruang publik, yakni dalam hal ini pusat perbelanjaan? Lain halnya jika itu terjadi di pantai atau kolam renang misalnya. Apabila anda bertanya apa definisi dari super sexy, maka mungkin seperti super hot pants (sudah tidak perlu dibayangkan hahaha).  

Fenomena lain yang tak kalah mengagetkan adalah ketika saya melewati jembatan penyeberangan yang akan menghubungkan ke stasiun kereta, sayup-sayup saya dengar lantunan ayat suci Alquran. Awalnya saya kagum karena di kota besar ini bisa mendengar suara orang mengaji. Hingga kemudian saya tersadar bahwa suara lantunan ayat suci itu berasal dari para pengemis yang duduk di tepian jembatan. Mereka sambil duduk (anak-anak, dewasa, dan ada juga yang membawa bayi), membaca Alquran berukuran kecil. Di Indonesia, saya sering melihat pengemis yang meminta-minta dengan cara ber-shalawat, mengucapkan salam, hingga memanjatkan do'a kebaikan bagi para penderma. Saya belum pernah melihat atau menemukan pengemis yang mengharapkan pemberian orang dengan cara membaca Al-Quran, baru di Malaysia saya menemukannya. Lagi-lagi, apakah fenomena ini tepat dijadikan inferensia akan komparasi hanya berdasar dari fenomena singkat dan dangkal ini?

Seperti itulah gambaran sebagian dari kita (juga saya dan mungkin anda) dalam menetapkan parameter pengukuran. Ketidakmampuan dan ketidakmauan kita untuk melihat dari sudut pandang lain secara lebih luas dan dalam, berpotensi membuat kita menerima hipotesis yang semestinya ditolak atau menolak hipotesis yang semestinya diterima. Seperti kisah para orang buta yang belum pernah memegang gajah dan saling "keukeuh" merasa paling benar dalam men-generalisir ruang sampelnya masing-masing.


Coretan di dinding fesbuk
Selasa, 22 Agustus 2017
@budisetiawan999 

0 comments:

Post a Comment