Friday, March 20, 2015

Udin: Tukang Cukur Langganan Saya


=== Udin: Tukang Cukur Langganan Saya ===

Udin, itulah nama dari tukang cukur langganan saya. Secara fisik Udin memang memiliki kekurangan, terlahir dengan kondisi kakinya yang kecil sebelah sehingga harus menggunakan tongkat pada tiap aktivitasnya.

Kondisi ini tidak membuatnya putus asa, selepas menempuh pendidikan vokasional untuk kaum disabilitas dari Kemensos, Udin mencoba beragam usaha dari service elektronik hingga saat ini sebagai tukang cukur.

Pagi tadi sebelum mengantar anak sulung saya ke sekolah, saya menyempatkan diri mampir ke Udin untuk cukur. Maklumlah, rambut saya sudah gondrong dan besok mau "show" di UPH hehehe. Pada ruang cukur berukuran sekitar 3 X 4 meter, saya mengantri dicukur Udin.

Tibalah giliran saya, "Din, biasa ya 1 senti aja" saya langsung request. Udin pun paham betul apa yang saya minta dan dengan cekatan bekerja. "Jenggot sama kumisnya sekalian juga kan ya mas?" Udin mengkonfirmasi. "Yoi lah, sekalian rapi Din", saya mengiyakan.
"Kemarin minggu buka jam berapa Din, saya jam 8 ke sini sekalian pulang dari lapangan main bola, Udin masih tutup?" Tanya saya.
"Jam 8 sudah buka padahal, lagi siap2 di dalam kali ya, jadi pintu belum dibuka. Soalnya kalau jumat ampe minggu itu emang lagi rame2nya" jawab Udin.
"Emangnya kalau di hari2 itu bisa rata2 berapa pelanggan Din?" Tanya saya.
"Alhamdulillah kalau Jumat-Minggu antara 50-60 orang, kalau hari lainnya sekitar 20-40an lah" jawab Udin.

Sejenak saya berhitung, dengan tarif cukur Rp.8ribu-Rp.10ribu, berarti omset Udin dalam 1 bulan kira2 berkisar Rp.3,5juta - Rp.7,2juta.
Wow amazing....Tak heran Udin bisa membeli rumah dari hasil mencukur, membuat orang lain senang dengan penampilan yang lebih guanteng.

Udin, seorang penyandang disabilitas yang tangkas memangkas rambut pelanggannya agar tampil lebih pantas. Fisik dan pendidikan formalnya memang terbatas, namun kreativitasnya asah keterampilan relatif tak berbatas.

Sementara sebagian orang2 hebat berpendidikan tinggi, masih saja ribut masalah remunerasi. Lalu ke mana kreativitas pergi? Jangan katakan kalau telah berubah wujud menjadi korupsi.

Budi Setiawan 18/3/2015 22.12 WIB

0 comments:

Post a Comment