Wednesday, December 30, 2015

si Culun dan si Hebat


si Culun dan si Hebat
====================================================
Culun: horee tulisan saya ada di jurnal lokal
Hebat: lokal biasanya gak ada seleksi ketat, gampang, klo nasional tuh lebih susah!

Jreeengg

Culun: asyiik tulisan saya ada di jurnal nasional
Hebat: udah terakreditasi belum? Klo akreditasi Dikti tuh wiih njelimet

Jreeengg

Culun: yeesss tulisan saya publish di jurnal terakreditasi Dikti
Hebat: biasa ajalah, klo blm ke index reputasinya

Jreeeengg

Culun: waahh ternyata udah keindex ebsco artikel saya. Tahun ini publish yg kedua...
Hebat: udah keindex scopus belum, klo belum yaa masih abal2...

Culun mesem lalu ngomong singkat:
"Makasih ya mas Hebat, atas motivasinya selama ini...
btw mas Hebat ini udah publikasi di mana aja?"

Hening

Saturday, December 19, 2015

Bagaimana Sebaiknya Menyikapi Hal Ini?

Bagaimana sebaiknya menyikapi hal ini?

Begini ceritanya...

Pada suatu hari saya mengobrol ringan dengan beberapa rekan dosen sambil menunggu waktu mengajar tiba. Obrolan kami diawali dengan topik di seputar aktivitas belajar mengajar di kelas, dari mulai tingkah polah mahasiswa/i yang "menyebalkan" hingga saling berbagi tips mengatasi tingkah polah mahasiswa yang dianggap "menyebalkan" tersebut.

Obrolan kami pun akhirnya tiba pada topik kuliner. Kami saling bercerita tempat dan jenis kuliner yang berkesan maupun yang mengecewakan, dari tempat/daerah yang masing-masing dari kami pernah pernah kunjungi. Obrolan semakin seru ketika ada salah seorang rekan yang non Muslim bercerita tentang pengalamannya menyantap makanan yang haram dimakan oleh Muslim. Rekan yang satu ini mengakui bahwa termasuk penggemar daging babi bahkan daging anjing, Saking gemarnya, dia menyatakan mampu mengingat dengan baik rasa khas dari makanan yang menggunakan daging babi sebagai menu utama maupun sebagai kaldu tambahan penyedap rasa.

Rekan yang satu ini juga bercerita ketika ia berkunjung ke sebuah tempat kuliner, memesan lalu mencicipi makanan yang dihidangkan, dia memiliki keyakinan sangat tinggi bahwa makanan tersebut menggunakan daging babi sebagai campuran bumbunya. "Ada rasa yang khas dan saya sebagai orang yang gemar memakan daging babi, saya hapal betul dengan rasa daging babi maupun makanan yang menggunakan campuran daging babi pada bumbunya", begitu dia berkata.

"Ada pedagang makanan yang jujur dan terang-terangan menginformasikan pada papan nama maupun spanduknya bahwa makanan pada tempatnya terdapat menu mengandung daging babi, ada pedagang yang tidak terang-terang menginformasikannya pada papan nama/spanduk tapi memilih menginformasikan secara lisan kepada pengunjung, dan ada juga pedagang yang tidak menginformasikan/merahasiakannya", begitu dia menjelaskan.

"Saya bahkan sering mengunjungi tempat kuliner yang saya yakin makanannya setidaknya menggunakan daging babi sebagai campuran bumbu, banyak yang pengunjungnya adalah Muslim (menggunakan jilbab), bahkan pernah juga pelayannya menggunakan jilbab. Ketika saya tanya, loh kamu kok jual makanan ini, kamu kan tahu kalau bagi kamu itu haram dan pembelinya juga banyak yang muslim?. Saya kan cuma kerja saja pak, begitu katanya". Cerita rekan saya ini semakin menarik untuk disimak. Bahkan ada juga yang lebih mengagetkan saya, tapi tidak saya sampaikan pada tulisan ini, khawatir menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Saya memberikan pertanyaan kepada rekan saya ini, "Bapak yakin kalau bapak benar-benar bisa membedakan makanan yang mengandung babi dengan yang tidak?" Rekan saya dengan senyum lebar menjawab "saya sangat yakin, karena saya ini penggemar berat daging babi". Dia menambahkan "bahkan pedagang-pedagang kuliner kaki lima yang pernah saya kunjungi di sekitar kita ini, saya curiga banget kok ya rasanya khas banget ya rasa khas B2", dia menjelaskan.

Nah, dari kisah rekan saya tersebut, bagaimana sebaiknya kita menyikapinya? Secara pribadi apabila berkunjung ke sebuah rumah makan, maka saya akan lebih memilih rumah makan yang saya yakini Insya Allah halal, seperti rumah makan Sunda, rumah makan padang. Saya jarang makan di restoran asing, namun jika harus makan di tempat itu maka saya akan memilih restoran yang ada label Halal-nya.

Ketika rekan saya tadi menyatakan bahwa pada pedagang kaki lima pun dia menemukan ada pedagang yang makanannya memiliki rasa khas daging babi seperti yang dia yakini, saya jadi merenung bagaimana menyikapinya? Apakah tepat jika digunakan cara yang sama seperti ketika makan di restoran? 

Misalnya ketika saya ingin membeli semangkuk Mie Bakso di sebuah pedagang kaki lima, apakah tepat jika ketika membeli saya berkata "Mang, ini Mie Baksonya halal kan?" Mengingat ketika membeli itu biasanya pembeli dan penjual dapat berinteraksi langsung dari dekat, saya khawatir pertanyaan saya itu ketika didengar oleh pembeli yang lain jadi menciptakan citra buruk, sehingga jadi tercipta fitnah yang tidak saya sadari.

Bagaimana sebaiknya menyikapi hal ini?
Terima kasih


Wednesday, December 16, 2015

Kisah Menuju Mekah (Bagian 2)

Melanjutkan dari kisah bagian 1 di sini, saya baru sempat untuk meng-update kisah/cerita ini... maklumlah hehehe...

Untuk melengkapi persyaratan pendaftaran haji, maka saya kemudian mengurus surat keterangan sehat dari Puskesmas. Setelah mendapatkan informasi dari petugas Puskesmas di wilayah saya, diketahui bahwa surat keterangan tersebut harus diurus pada Puskesmas Cirimekar. Tanpa membuang waktu kami pun langsung berkunjung ke Puskesmas Cirimekar dan setelah bertanya pada petugas pendaftaran, saya langsung menuju bagian Rujukan dan Haji.

Bagian Rujukan & Haji Puskesmas Cirimekar