Friday, October 2, 2015

Garis Kemiskinan dan Gini Rasio di Jawa Barat pada Maret 2014 - September 2014


Opini Sederhana Mengenai Garis Kemiskinan dan Gini Rasio di Jawa Barat Berdasarkan Data BPS pada Maret 2014 - September 2014
==========================================
BPS telah mempublikasikan Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi September 2015 pada website (bps go id). Saya tertarik untuk mengetahui Garis Kemiskinan dan perkembangan Gini Rasio Maret 2014 - September 2014, di wilayah Jawa Barat.

Sebagaimana diketahui, Gini Rasio merupakan sebuah metode yang sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan. Tingkat ketimpangan pendapatan itu sendiri merupakan salah satu aspek kemiskinan yang harus diperhatikan dan dicermati secara seksama. Mengapa? karena pada dasarnya tingkat ketimpangan pendapatan adalah ukuran kemiskinan relatif. 

Gini rasio didasarkan pada kurva Lorenz, yakni sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Koefisien Gini berkisar antara 0 hingga 1, dengan ketentuan jika koefisien Gini bernilai 0 maka bermakna bahwa pemerataan telah tercipta dengan sempurna sempurna. Kebalikannya, jika bernilai 1, maka dapat diartikan telah tercipta ketimpangan yang sempurna.


BPS mengacu pada data pengeluaran sebagai proksi pendapatan yang bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), dalam mengukur tingkat ketimpangan di Indonesia. 

Garis Kemiskinan, Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin, September 2014 di wilayah Jawa Barat, adalah sebagai berikut:

PERKOTAAN:
Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) = 294.700
Jumlah Penduduk Miskin (000 orang) = 2.554,06
Persentase Penduduk Miskin = 8,32

PERDESAAN:
Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) = 285.076
Jumlah Penduduk Miskin (000 orang) = 1.684,90
Persentase Penduduk Miskin = 10,88 

Secara keseluruhan persentase penduduk miskin di Jawa Barat pada September 2014 adalah 9,18%. Proporsi ini masih berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai 10,96%.

Definisi garis kemiskinan Garis Kemiskinan (GK) menurut BPS adalah hasil penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).  Dengan demikan penduduk Miskin merupakan penduduk dengan rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.

Secara teori, GKM adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari, direpresentasikan oleh 52 jenis komoditi. Sedangkan GKNM merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.

Terlepas dari validitas data dan teknik analisis yang digunakan, saya tertarik pada penetapan garis kemiskinan di wilayah jawa Barat sebesar Rp.294.700 di perkotaan dan Rp. 285.076 di perdesaan. Apabila seseorang di perkotaan pada wilayah Jawa Barat katakan saja memiliki pengeluaran perkapita perbulan Rp.300.000 maka dia tidak dapat disebut miskin.

Saya mencoba mengilustrasikan di wilayah Bogor, dengan uang Rp.10.000 per hari pada September 2014 apa saja yang dapat saya beli untuk makanan dan non makanan? Saya percaya orang tersebut akan tetap dapat hidup dengan pengeluaran perkapita perbulan Rp.300.000, namun apakah sudah dapat dikatakan memenuhi standar untuk dapat hidup secara layak? Pertanyaan ini juga akan bias, karena definisi standar hidup layak juga akan menjadi perdebatan ketika misalnya hanya diukur dari 2100 kilokalori perkapita.

Sementara ini saya berpendapat, penetapan garis kemiskinan lebih dominan bernuansa politis. Mengapa? ketika garis kemiskinan diukur lebih manusiawi tidak hanya ukuran 2100 kilokalori perkapita untuk makanan, maka dapat diduga garis kemiskinan akan meningkat. Hal ini akan berdampak pada bertambahnya jumlah penduduk miskin. Itu baru dari faktor makanan, belum lagi dilihat dari faktor non makanan.

Bagaimana dengan tingkat ketimpangan di Jawa Barat? Berikut ini disajikan data Gini Rasio untuk Maret 2014 dan September 2014, di wilayah Jawa Barat 

Gini rasio pada Maret 2014:
Perkotaan = 0,43 
Perdesaan = 0,30 
Total = 0,41

Gini rasio pada September 2014:
Perkotaan = 0,41 
Perdesaan = 0,29 
Total = 0,40

Secara keseluruhan dapat kita duga bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dari gini rasio pada Maret 2014 dan September 2014, baik untuk wilayah perkotaan maupun perdesaan di wilayah Jawa Barat. Ketimpangan lebih besar terjadi di wilayah perkotaan dibandingkan di wilayah perdesaan dan secara keseluruhan dapat disimpulkan terjadi ketimpangan yang cukup besar (sedang) di wilayah Jawa Barat. Meski diduga tidak terjadi perbedaan yang signifikan dari gini rasio antara Maret 2014 dan September 2014, namun penurunan gini rasio yang terjadi menjadi cerminan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat di wilayah Jawa Barat telah dapat direduksi

0 comments:

Post a Comment